Bulan Juni 2022, tim penerjemah bahasa Tambeee dan beberapa staff dari Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia ( LPMI ) melakukan sulih suara untuk Film Yesus. Kegiatan tersebut dilakukan di dalam satu studio rekaman yang cukup baik, sesuai standart yang dibutuhkan, untuk melakukan sulih suara film Yesus.
Menariknya adalah, studio rekaman ini dibuat dalam kurun waktu 3 minggu saja. Ini tentunya bukan hal yang sederhana untuk dilakukan karena memerlukan dana yang tidak sedikit. Namun mereka bekerja keras dengan luar biasa, mereka mengumpulkan dana, bekerja siang dan malam selama 3 minggu sampai gedung perekaman bisa dipakai. Puji Tuhan, jemaat GKST Sion Landangi dan Lembaga adat bekerja sama untuk pencarian dana menopang pembangunan studio. Orang- orang percaya di daerah itu begitu semangat untuk memiliki film Yesus dalam bahasa mereka.
Melihat ke belakang, suku Tambeee adalah anak suku Mori di wilayah Luwu Timur yang tersebar kemana-mana akibat pemberontakan yang bersifat SARA)* pada masa itu yang mengakibatkan mereka terpecah dan tersebar.
Filosofi suku Tambee adalah seluruh masyarakat berkomitmen bersatu untuk mempertahankan setiap jengkal tanah yang menjadi milik serta hak orang Tambee secara hukum adat. Tetapi saat itu, faktanya, untuk mempertahankan hidup, merekapun dengan terpaksa menjual tanah mereka sedikit demi sedikit dengan harga murah .
Tanah, dalam suku Tambee merupakan simbol dari harga diri mereka, identitas mereka, karena mereka melihat bahwa tanah adalah simbol penciptaan. Manusia Tuhan ciptakan dari tanah. Itu sebabnya tanah bagi mereka melambangkan hakekat manusia. Menjual tanah artinya menjual hakekat diri mereka sendiri.
Tersebar, tidak memiliki lahan mengakibatkan bahasa juga makin hilang. Ini semakin membuat mereka merasakan bahwa identitas diri mereka makin hilang.
Puji Tuhan, seorang Hamba Tuhan, Pdt.Wayan, Tuhan kirim melayani suku Tambee. Ia menolong mereka utk mengupayakan dan mengelola tanah yang mereka miliki sehingga jemaat tidak dengan mudah menjual tanah mereka. Dan bukan hanya itu saja, hamba Tuhan ini juga menyadari bahwa mereka perlu penguatan identitas diri. Dan ia melihat bahwa menerjemahkan Firman Tuhan merupakan satu catra memulihkan identitas diri mereka.
Ia membukakan hati suku Tambee bahwa Allah mengasihi, mengenal bahkan juga mau berbicara dalam bahasa mereka. Maka, menerjemahkan Firman Tuhan dalam bahasa Tambee harus dilakukan.
Setelah program penerjemahan dilakukan, masyarakat Tambee akhirnya mulai tumbuh rasa percaya diri, karena mereka tahu Allah menerima dan mau bicara dalam bahasa mereka.
Dukungan dana, logistik bagi tim penerjemah serta studio perekaman yang cukup memadai menjadi bukti bagaimana Allah membangkitkan identitas mereka, mereka yakin Allah menerima dan mengasihi mereka sehingga mereka tidak sayang untuk memberikan yang terbaik apa yang mereka punya sebagai ungkapan syukur.
Penerjemahan memang bukan sekedar masalah rohani tetapi ini upaya perjuangan menghadirkan identitas suku Tambee kembali di tengah- tengah Indonesia, di hadapan Tuhan.