Namanya Elizabeth, tapi banyak yang mengenalnya dengan sebutan Bebeth. Seorang wanita muda, mandiri, dan penuh semangat. Bukan sosok biasa. Ia adalah lulusan dari salah satu kampus ternama di Indonesia dan sempat mencicipi pendidikan S2 di Perancis, sebuah pencapaian yang bagi banyak orang mungkin menjadi tiket menuju karier gemilang. Tapi, jalan hidup Bebeth tidak mengikuti arus umum. Ia memilih berjalan di antara suku-suku yang belum memiliki Firman Tuhan dalam bahasa hati mereka.
Keterlibatannya bersama Kartidaya bermula dari satu momen sederhana namun terus mengusiknya: saat ia melihat Alkitab dalam bahasa yang tidak ia kenal. Dalam benaknya, Alkitab hanya ada dalam bahasa Indonesia atau Batak, bahasa ibunya. Tapi momen itu terus membangkitkan pertanyaan demi pertanyaan yang akhirnya membawanya masuk ke dalam dunia penerjemahan. Ia tersadar, ada begitu banyak orang yang belum pernah mendengar suara Tuhan dalam bahasa mereka sendiri.
Bebeth memulai pelayanannya sebagai admin lapangan untuk Gugus Pusaka di Kalimantan Barat. Dari sana, langkahnya semakin jauh. Ia menjadi asisten program lapangan, menjalani survei bahasa, membangun kerja sama dengan komunitas lokal, dan mengurus hingga sebuah gugus penerjemahan bisa dibuka di suatu daerah.
Tuhan memercayakan lebih lagi, Bebeth dipercaya sebagai Coordinator of Pre-Bible Translation. Tanggung jawab ini membawanya jauh dari kenyamanan, menempuh hari-hari panjang, bahkan berbulan-bulan di medan yang tidak mudah, dan seringkali jauh dari keluarga maupun sahabat. Tapi justru di tengah keterasingan dan tantangan itu, ia berkata, “Disanalah saya menemukan hati Tuhan.”
Dalam masa itu pula, datanglah tawaran yang selama ini hanya ada dalam impiannya: menjadi dosen di almamaternya. Bukan sembarang tawaran, tapi datang dari sosok terdekat yang bisa langsung membuka pintu ke sana. Sejak kecil, Bebeth memimpikan menjadi dosen, “Saya akan berbohong kalau saya bilang tidak galau saat tawaran itu datang,” tutur Bebeth.

Namun, Bebeth tahu betul, ada panggilan yang lebih kuat. Kecintaannya untuk menghadirkan Firman dalam bahasa hati tak bisa diabaikan. Ia tahu, ini bukan sekadar pilihan pekerjaan. Ini adalah jalan yang memerlukan kerendahan hati untuk taat. Dan ia memilih taat.
Dalam peranannya saat ini, Bebeth harus berhadapan dengan berbagai pemikiran di lapangan. Beragam karakter, sudut pandang, bahkan konflik. Tapi ia belajar untuk tetap rendah hati, mendengar, dan mengalah demi kebaikan bersama. Meski usianya muda, ia tak ragu untuk berkolaborasi dengan rekan-rekan yang jauh lebih senior darinya. Ia hadir bukan untuk menunjukkan kehebatan, tapi untuk bersama-sama membawa terang Firman.
Kisah Bebeth adalah kisah tentang ketaatan yang tidak selalu mudah. Ini tentang panggilan yang kadang harus dibayar dengan memadamkan impian. Juga tentang bagaimana Tuhan memakai hidup seorang wanita muda yang bersedia merendahkan hati dan berjalan bersama untuk menghadirkan Firman Tuhan di tempat-tempat yang selama ini belum mendengarnya.