Ada pelayanan yang tampil di depan umum. Ada pula yang tumbuh dari kesunyian, dari ruang-ruang belajar, dari keputusan-keputusan sehari-hari yang tidak selalu terlihat orang. Pelayanan Intan Esra Banti berada di antara keduanya: lahir dari pengalaman pribadi, diproses melalui ketaatan, dan dikerjakan dengan kejelasan hati bahwa ini bukan tentang dirinya—tetapi tentang Tuhan yang menyatakan kasih-Nya melalui bahasa yang dimengerti umat-Nya.

Sejak kecil, dunia penerjemahan bukanlah hal asing baginya. Ayahnya pernah menjadi bagian dari proses itu, dan bagi Intan, hal yang paling diingat justru pertemuan dengan orang-orang asing dan suasana yang akrab. Ia tidak terlalu memikirkan pentingnya pelayanan itu, dan tidak pula membayangkan akan berjalan di jalan yang sama.

Tahun-tahun kemudian, ia terlibat sebagai penolong dalam proses uji coba penerjemahan untuk bahasa ibunya sendiri. Dari situ, keterlibatan itu bertambah. Ia mendampingi tim-tim penerjemah lain, mengenal cara kerja yang membutuhkan ketelitian, keterbukaan, dan kesabaran. Ia belajar bahwa tanggung jawab teknis pun tetap harus dijalani dengan kepekaan rohani. Satu hal yang Intan pegang erat adalah bahwa rohani dan profesional tidak seharusnya dipisahkan. Keputusan-keputusan teknis tidak boleh mengabaikan nilai-nilai ilahi meski hasilnya tidak langsung tampak.

Melayani dari satu komunitas ke komunitas lain membuatnya sadar bahwa menjadi pendamping penerjemahan bukan hanya soal mendampingi proses, tetapi juga soal kesiapan pribadi. Ia mulai merasakan kebutuhan untuk diperlengkapi—bukan karena kurang, tapi karena ingin memberi dengan utuh. Maka ketika kesempatan terbuka untuk menempuh pendidikan teologi, ia menerimanya bukan sebagai beban tambahan, melainkan sebagai bagian dari pertumbuhan.

Ia tidak memisahkan antara pelayanan dan pembelajaran. Yang satu berjalan bersama yang lain. Di sela jadwal mendampingi tim dan mengelola tanggung jawab keluarga, ia menyusun waktu untuk kuliah, membaca dan merenung. Bukan untuk menjadi lebih hebat, tetapi agar ia tidak terburu-buru dalam menyimpulkan sesuatu, dan tetap bersandar pada kebenaran yang ia pelajari.

Bagi Intan, melayani berarti hadir dengan penuh perhatian. Ia menyusun jadwal kerja, mendengarkan kebutuhan tim, menjaga komunikasi, dan tidak mengambil keputusan secara tergesa-gesa. Dalam banyak hal, ia lebih memilih mendengar dulu, diam sebentar, lalu melangkah setelah yakin.

Tidak semua hal berjalan sesuai rencana. Ada benturan waktu, tumpang tindih peran, dan pergumulan yang tidak selalu bisa dibagi ke banyak orang. Tapi dari proses-proses itulah ia belajar melihat ulang mana yang sungguh perlu didahulukan, dan bagaimana mempercayai waktu Tuhan dalam hal-hal yang tampak sederhana.

Mungkin pelayanannya tidak pernah benar-benar terlihat ramai. Tapi dalam kesederhanaan itu, ada banyak hal yang sedang dibentuk: cara melihat, cara bekerja, dan cara menanggapi hidup. Ia tidak menempatkan diri di tengah perhatian, tetapi tetap hadir dan menjalankan bagiannya.

Dan dari tahun ke tahun, ia terus membuka diri—untuk melayani, untuk mendengar, untuk belajar, dan untuk bertumbuh. Tidak untuk membuktikan apa-apa, tapi karena menyadari: jika ini adalah jalan yang Tuhan percayakan, maka setiap langkahnya pun layak dijalani dengan setia.