Sebagai calon konsultan penerjemah dan pimpinan gugus, Thia paham bahwa proses penerjemahan bukan pekerjaan yang singkat atau mudah. Tahap demi tahap yang harus dilalui bisa terasa panjang dan melelahkan—mulai dari mencari penutur bahasa, fasilitator yang tepat, menyusun draf awal, memeriksa alur terjemahan, hingga berbagai evaluasi dan revisi bersama konsultan. Dan, di tengah semua itu, selalu ada godaan untuk mengambil jalan pintas.
Thia mengakui, ada masa-masa ketika langkah-langkah yang harus dilalui terasa seperti beban. Salah satu tahapan yang dulu sering dianggap formalitas oleh timnya adalah pemeriksaan oleh peninjau. Apalagi tidak mudah menemukan orang yang bersedia membaca hasil terjemahan berpasal-pasal dan memberikan masukan yang berarti. Namun seiring waktu, Thia mulai melihat bahwa justru di tahapan itu ada peluang besar untuk membangun penerimaan dari jemaat dan masyarakat. Ketika peninjau adalah pelayan gereja atau tokoh adat, proses ini menjadi jembatan agar hasil terjemahan tidak hanya selesai di atas kertas, tetapi juga diterima dan dihargai oleh komunitas.
Thia menjelaskan bahwa siapa pun yang mencoba melewati tahapan penerjemahan secara sembarangan pasti akan ketahuan. Saat naskah masuk ke tahap pemeriksaan konsultan, setiap kekurangan akan terlihat dengan sangat jelas. Melewatkan satu langkah saja sering kali berujung pada pekerjaan ulang yang jauh lebih melelahkan. Maka, mengambil jalan pintas bukan membuat proses lebih cepat—justru bisa mempersulit segalanya di belakang.
Alih-alih memangkas proses, Thia memilih mengatur ritme kerja tim dengan bijak. Ia mendorong fasilitator untuk tetap bergerak maju dan memastikan bahwa sebelum naskah masuk ke tangan konsultan, semua unsur-unsur penting sudah lengkap dan siap diperiksa. Ia menjaga efisiensi tanpa mengorbankan prinsip.
Keputusannya untuk tetap setia pada proses, meski ada peluang untuk menyederhanakan jalan, menunjukkan integritas yang teguh. Dan, dari pilihan-pilihan kecil yang jujur dan konsisten itulah, Gugus Tadulako akhirnya berhasil menyelesaikan program terjemahan untuk dua bahasa di Sulawesi Tengah dengan baik—sebuah pencapaian yang dirayakan dalam acara dedikasi hasil terjemahan pada bulan Juni lalu.
“Integritas bukan sekedar pilihan moral, itu adalah dasar yang menuntun setiap keputusan dalam pelayanan. Ketika banyak hal bisa dibuat lebih mudah dengan mengabaikan satu dua hal kecil, saya memilih setia pada proses yang benar. Karena justru di situlah buah dari pelayanan yang bertanggung jawab mulai tumbuh”, ucap Thia.


