Salah satu tantangan dalam duni penerjemahan adalah keterbatasan bahasa. Contohnya, di suku Taburta di Papua, mereka hanya mengenal angka 1,2 dan 3 tidak ada angka 4 dan seterusnya. Di beberapa suku yang ada di Indonesia mereka tidak memiliki kata “maaf” dalam bahasa asli mereka, sehingga untuk hal tersebut, mereka mengambil kata “maaf ” dari Bahasa Indonesia.

Demikian juga yang terjadi di suku Lindu, dimana sedang dilakukan Penerjemahan Perjanjian Baru. Ketika tim penerjemahan ingin menerjemahkan kata “ menghianati “ dalam bagian Alkitab untuk menjelaskan bagaimana Yudas menghianati Yesus, mereka tidak mengerti bagaimana mencari padanan kata yang cocok dengan arti yang dimaksud dari kata “ menghianati “.

Tim penerjemah kesulitan mendapatkan kata kunci untuk menerjemahkan kata tersebut karena dalam budaya atau bahasa orang Lindu tidak ada istilah untuk mengkhianati. Mereka tidak mengerti arti kata mengkhianati.

Lalu apa yang harus dilakukan? Diperlukan diskusi yang panjang untuk menemukan kata yang tepat. Budi Karmoy, fasilitator  penerjemah akhirnya berupaya membuat ilustrasi yang menggambarkan apa yang dilakukan oleh Yudas terhadap Yesus.

Ia katakan andaikan di kampung Langko ada sebuah keluarga dimana kakaknya atau adiknya menjual sawah tanpa sepengetahuan keluarga besar, bagaimana reaksi dari keluarga besarnya? Mereka menjawab, “ Pastinya marah, karena sikap itu adalah sikap yang tidak sopan dan tidak pantas.” Reaksi tim penerjemah pada saat itu cukup menggambarkan reaksi yang seharusnya ditampakkan bila seseorang dihianati.

Akhirnya, kata “nampobalu”  yang artinya “ menjual “ lah yang diputuskan oleh tim untuk menjelaskan kata “mengkhianati” Yesus. Menurut budaya orang Lindu menjual barang tanpa seijin yang empunya barang adalah sikap yang kurang ajar, apalagi melakukan transaksi untuk menjual seseorang dan menerima uang hasil penjualan. Satu sikap yang sangat kurang ajar dan tabu.

Dan ketika hasil itu diuji cobakan kepada masyarakat, mereka sangat marah dengan apa yang dilakukan oleh Yudas terhadap Tuhan Yesus “nampobalu”, menjual. Hal ini tentunya memudahkan tim penerjemah dalam melakukan pembinaan selanjutnya kepada masyarakat Lindu. Ini menjadi penting karena melalui kata menjual ini, membuat masyarakat di Lindu lebih selektif dalam bertindak agar sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan, misalnya saja dalam hal memilih pasangan hidup, tentunya kata menjual ini akan menjadi pegangan karena mereka takut menjual iman mereka hanya karena salah pilih jodoh.

Bahasa memang tentang budaya, dan budaya adalah jembatan untuk pemberitaan Injil dan kebenaran Firman Tuhan.