Pak Matius Koncong dari suku Jaule* adalah seorang pemimpin Jemaat yang disegani. Sebagai seorang pemimpin, ia terbiasa mengambil keputusan sendiri. Namun, ketika ia terlibat dalam tim penerjemahan Alkitab, kebiasaannya itu menjadi pergumulan tersendiri. Ia sering merasa pendapatnya paling tepat dan sulit menerima masukan dari anggota lain — sebuah tantangan dalam kerja tim yang menuntut kebersamaan.
Perlahan ia menyadari bahwa penerjemahan bukan soal siapa yang paling berhak menentukan, melainkan bagaimana Firman Tuhan dapat dipahami secara tepat oleh seluruh jemaat. Ia mulai berlatih mendengarkan, mempertimbangkan berbagai sudut pandang, dan menolak keputusan yang hanya menguntungkan dirinya atau kelompok tertentu. Ia belajar menyangkal diri demi kebenaran Firman.
Ketika banjir bandang menghancurkan rumahnya dan ia harus mengurus keluarga serta membantu warga sekitar, ia tetap memilih hadir dalam pertemuan tim penerjemahan. Panggilan pelayanannya tidak pernah ia jadikan nomor dua, bahkan ketika hidupnya sendiri sedang diuji.
Hingga di penghujung proses, ketika anggota tim lain sudah tidak lagi mampu melanjutkan dan hanya tersisa dua orang, Pak Matius tetap berdiri teguh. Ia menyelesaikan tugasnya bukan demi pujian, melainkan agar Firman Tuhan benar-benar dapat dinikmati oleh umat Jaule* dalam bahasa mereka sendiri.
Dan komitmennya tidak berhenti pada penerjemahan. Sampai hari ini, ia masih terus mendaki gunung demi gunung, mengantarkan hasil terjemahan ke kampung-kampung terpencil. Ia memastikan setiap orang Jaule* mendapatkan kesempatan mendengar dan memahami Firman Tuhan dengan jelas dalam bahasa hati mereka.
Inilah integritas yang sesungguhnya: hadir dengan setia, mengambil keputusan yang benar, dan menjaga hati tetap murni dalam setiap langkah pelayanan.
*pseudonym