Saya tidak pernah menyangka haluan hidup saya akan berubah arah sejauh ini. Setelah lulus dari Fakultas Sastra Jepang UGM, saya sudah siap berangkat magang ke Jepang. Semua dokumen sudah lengkap, tinggal menunggu satu surat penting: letter of eligibility. Surat itu tak pernah datang, dan kesempatan pun hilang begitu saja.

Dalam masa pencarian itu, saya berkenalan dengan Kartidaya. Semuanya berawal dari internet, ketika saya sedang mencari informasi tentang misi, bahasa, dan budaya. Dari sebuah situs lama yang tampak sudah tidak terurus, saya menemukan kontak yang ternyata adalah Kak Yunita Susanto. Tak disangka, ia benar-benar membalas email saya dan bahkan mengundang saya datang ke kantor Kartidaya.

Butuh hampir setahun sampai saya mantap untuk bergabung. Sambil mempertimbangkan, saya sempat membantu menerjemahkan materi pelatihan Kartidaya secara jarak jauh. Pertemuan dengan pasangan misionaris—yang mengenal orang tua saya dengan baik di Tanimbar—akhirnya semakin meneguhkan langkah saya untuk masuk dalam pelayanan Kartidaya.

Beberapa bulan setelah bergabung dengan Kartidaya, saya kembali ke Jogja dan mampir ke kos lama. Ibu kos menyerahkan sebuah paket. Saat saya buka, isinya adalah surat yang dulu saya tunggu. Hati saya terdiam. Tuhan seakan berbisik, “Kalau surat ini tiba tepat waktu, kamu tidak akan ada di sini.” Dari peristiwa kecil itu saya sadar, Tuhanlah yang mengubah arah hidup saya. Bukan ke Jepang, melainkan ke ladang pelayanan di tengah suku-suku Indonesia.

Pelajaran pertama yang saya dapat adalah tentang ketaatan. Ketaatan tidak bisa menunggu penjelasan lengkap. Saya sering ingin tahu dulu rencana Tuhan secara menyeluruh, tetapi justru di situlah saya belajar. Sama seperti Abraham, saya dipanggil untuk melangkah tanpa tahu persis ujungnya.

Tahun 2006 saya mulai melayani bersama Kartidaya. Setelah pelatihan bahasa dan budaya, saya ditempatkan di Yamdena, Maluku, untuk mendampingi penerjemahan Perjanjian Baru. Hidup di sana mengubah saya. Saya belajar apa artinya cukup, bagaimana bersabar, rendah hati, dan bergantung sepenuhnya pada Tuhan.

Sejak 2014, pelayanan saya juga berkembang ke pelatihan etnomusikologi dan lokakarya “Firman Bertemu Budaya.” Dari situ saya menyaksikan bagaimana Firman Tuhan bekerja. Firman bukan hanya diterjemahkan di atas kertas, tetapi benar-benar mengubah hati dan arah hidup seseorang.

Perjalanan ini tentu penuh tantangan. Saya pernah sakit parah hingga sempat protes kepada Tuhan, dan di lapangan saya berhadapan dengan keterbatasan sumber daya serta sikap sebagian gereja yang berhenti pada rasa bangga karena bahasanya sudah terdokumentasi dalam Alkitab tanpa sungguh-sungguh memakainya dalam kehidupan sehari-hari. Namun di balik semua itu, saya justru menyaksikan pemeliharaan Tuhan yang nyata: ketika harus menjalani dua tindakan medis besar, biaya tersedia lewat cara yang tak pernah saya rencanakan, dan orang-orang yang baru saya kenal pun menyediakan makanan, tempat tinggal, bahkan perlindungan. Dari semua pengalaman itu saya belajar, selama Yesus ada di dalam perahu, badai sebesar apa pun tidak akan menenggelamkan hidup saya, sebab ketika Tuhan mengutus, Dia juga memelihara.

Ada satu kisah yang selalu membekas. Seorang ibu anggota tim Yamdena kehilangan suaminya karena dibunuh orang tak dikenal. Alih-alih menuntut di pengadilan, ia memilih mengampuni. Katanya, “Sebagaimana Tuhan sudah mengampuni saya, saya juga mengampuni orang yang mengambil nyawa suami saya.” Saat itu saya yakin, firman yang kami baca setiap pagi lebih dulu menerjemahkan hidupnya sebelum kami menyelesaikan Alkitab.

Saya juga menyaksikan perubahan nyata di komunitas. Suku Bokngoboh* sepakat meninggalkan ritual memanggil hujan. Suku Rapem* berhenti memegang tradisi yang dipercaya mendatangkan celaka. Mereka belajar hanya Tuhan yang berkuasa atas musim dan masa depan manusia.

Kini ketika saya menoleh ke belakang, saya mengerti. Gagal berangkat ke Jepang bukanlah kebetulan. Itu bagian dari rancangan Tuhan yang lebih besar. Karena ketaatan, Yamdena kini punya Alkitab dalam bahasanya. Karena ketaatan, suku-suku memiliki lagu rohani etnik mereka sendiri. Karena ketaatan, budaya yang dulu menentang firman kini menerima terang kebenaran. Dan karena ketaatan, hidup saya sendiri terus dibentuk untuk semakin mengenal hati Bapa.

*pseudonym